Asyik, Jakarta Banjir Lagi!
Sungguh apes nasib masyarakat Jakarta. Setiap hujan turun hati mereka tidak pernah tenang. Mereka memikirkan nasib rumah dan kendaraan mereka, mereka memikirkan bagaimana anak-anak mereka dapat pulang dari sekolah, dan mereka memikirkan bagaimana caranya dapat pulang tepat waktu padahal lalu lintas pasti akan sangat macet di saat hujan turun. Sungguh apes nasib masyarakat Jakarta. Hujan yang seharusnya menjadi sebuah hiburan gratis dari Tuhan justru menjadi momok yang amat menakutkan bagi mereka. Setiap hujan turun, hati mereka menjadi gelisah tidak karuan. Sungguh menyedihkan. Kondisi ini sungguh ironis karena di berbagai tempat lain di dunia hujan justru menjadi simbol romantisme dan waktunya bermesra-mesraan. Sementara hujan di Jakarta, justru dicaci dan dimaki.
Sungguh apes nasib masyarakat Jakarta. Mereka tidak punya kekuatan untuk melawan Pemerintah DKI Jakarta dan berteriak, “Kami sudah bosan dengan banjir.” Yang ada, masyarakat Jakarta hanya bisa diam dan termenung menatapi rumahnya terendam air. Mereka hanya bisa tersenyum kecut menyaksikan hasil kerja keras mereka selama bertahun-tahun harus rusak dan tidak tersisa akibat kekuatan alam yang tidak terbendung. Raut wajah mereka yang selama ini jarang ceria karena harus melawan kerasnya kehidupan di Jakarta untuk sekian kalinya harus muram dan sedih sambil menatap kosong ke depan. Memang sungguh berat untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat Jakarta, rasanya satu nyawa saja tidak pernah cukup.
Banjir lagi banjir lagi. Tapi apa mau dikata, hujan bukan suatu hal yang bisa dikontrol. Hujan adalah sebuah gejala alam ciptaan Tuhan. Hujan pasti akan terus turun selama bumi ini masih berputar. Ingin rasanya berdoa dan meminta Tuhan agar menghentikan turunnya hujan di Jakarta, tapi saya tahu itu tidak mungkin. Toh, di lain sisi kita semua juga membutuhkan hujan sebagai sumber air minum kita. “Jadi mau bilang apa?” Tanya seorang pejabat Pemerintah DKI Jakarta. “Yah, hadapi saja dan terima dengan lapang dada.”
Mau tahu apa jawaban orang miskin? “Ngomong emang gampang!” Untuk sebagian besar masyarakat Jakarta yang hidup pas-pasan yang setiap hari harus lari mengejar metromini dengan napas terengah-engah, bukan jawaban seperti itu yang ingin mereka dengar dari para pejabat kota. Tubuh mereka sudah terlalu lelah dan jiwa mereka sudah begitu jengah. Muka mereka yang hitam dan berdaki akibat kepulan asap kendaraan bermotor tampak tidak puas dengan jawaban seperti itu, tapi apa mau dikata suara mereka hanya dianggap angin lalu saja.
Masalah banjir memang bukan barang baru di Jakarta. Sejak tahun 2002, banjir di Jakarta semakin parah saja setiap tahunnya. Apabila hujan turun lebih dari satu atau dua jam saja bisa dipastikan banyak lokasi di Jakarta tergenang air. Setiap banjir terjadi baik masyarakat dan Pemerintah DKI Jakarta sama-sama tidak mau disalahkan. Kalangan masyarakat menuduh Pemerintah DKI Jakarta tidak becus dalam menata dan dan mengatur kota sementara kalangan pejabat juga tidak mau disalahkan begitu saja dengan balik menuduh bahwa masyarakat Jakarta tidak memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan. Menurut hemat saya, tuduhan masing-masing pihak adalah benar. Sebagai bagian dari masyarakat Jakarta selama enam tahun saya sadar sepenuhnya bahwa mayoritas masyarakat Jakarta tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan itu tidak saja perlu tapi sangatlah penting. Saya ingat bagaimana seorang teman dekat saya dengan santainya selalu membuang sisa makanan di mana saja ia berada, bahkan di tengah jalan apabila kami sedang berada di dalam mobil sekalipun. Saya biasanya langsung melotot dan berteriak, “Buset!” Teman saya yang kebetulan punya kepribadian sangat nyentrik hanya menjawab sembari mesam-mesem, “Yaelah, sok bule lo. Semua orang juga begitu.”
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda